

Cantik ya anake WILIS. Namanya CINTA, buah dari kecintaan mama pada papanya he...he.... Mirip Wilis nggak ya? Atau mirip bapaknya eh daddy-nya?
Ini galeri untuk foto-foto dan CORETAN PENA-ku. Semacam katarsis saja meski sering menjadi narsis-- ya maklum aja. Sesekali juga memuat tulisan lain yang bisa memberi inspirasi.
Reuni bukan United of Nothing
Oleh: Erwan Widyarto
Bambang lantas mereply email pribadi itu. Dia menilai seniornya itu terlalu merendah. Padahal, mestinya dia pantas hadir dan berbicara di forum yang akan digelar di kampusnya. Dia bisa bercerita kisah hidupnya di depan alumni yang lain yang datang berombongan dari ibu kota, baik mereka yang naik kereta api maupun yang menggunakan pesawat.
Si senior itu pun membalas email Bambang. Di dalam email balasan itu dia malah menulis bagaimana malunya ia melihat para alumni dari almamaternya terlibat berbagai kasus korupsi. Bahkan, kalau dibuat ranking, barangkali almamaternya akan menempati urutan tertinggi. Atau setidaknya masuk tiga besar.
‘’Kita tahu, banyak pejabat di elite pemerintahan sekarang ini adalah lulusan fakultas kita dan fakultas tetangga kita. Begitu pula para kepala daerah dan anggota dewan di sejumlah kota di Indonesia. Hitung saja, berapa di antara mereka yang kini menjadi tersangka atau menyusul menjadi tersangka penyelewengan uang negara. Atau mungkin selamat karena kepandaiannya bersilat lidah atau pintar memelintir fakta dan memainkan rupiah dalam angka. Adakah yang pantas kita banggakan?’’
Pertanyaan retorik yang juga sindiran menghunjam. Adakah yang mesti dilakukan bagi para alumni ketika berkumpul dalam reuni. Termasuk reuni emas, 50 tahun usia fakultas.
‘’Mungkinkah, ada kesepakatan untuk membuat malu para alumni agar tidak melakukan tindakan yang memang memalukan itu? Mencabut gelar kesarjanaan, misalnya, meskipun itu bukan gelar palsu dari Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI). Atau apapun bentuknya. Mungkin ratusan kepala yang berkumpul dalam reuni bisa memunculkan ide yang lebih brilian,’’ lanjut senior itu.
Bambang terbayang-bayang dengan sosok kakak kelas yang ternyata tidak berubah setelah menjadi orang di Jakarta sana. Orangnya kalem, tenang. Gambaran kematangan bersikap dan berpikir. Tidak banyak orang yang seperti dia. Teguh memegang prinsip meski dengan risiko kehidupannya tetap tidak berubah.
Yang banyak adalah para lulusan yang sewaktu mahasiswa menjadi aktivis kritis tapi begitu menjadi birokrat atau politisi hilang kekritisannya, bahkan rame-rame ikut arus, korupsi. Atau setidaknya menjadi ‘’calo’’ yang kemudian ikut kebagian korupsi.
Saat email ini diceritakan kepada sahabatnya Susilo, Yudho, dan Yono tanggapan beragam pun muncul. Susilo yang sering sok filosofis mengatakan bahwa reuni memang harus mampu membuat transformasi dalam hidup. Harus ada evaluasi. Mengajak untuk melakukan perubahan-perubahan kecil atau besar yang mengubah kualitas hidup menjadi lebih baik.
‘’Apa yang akan diubah?’’ pancing Yudho.
‘’Pola pikir, emosi, dan kebiasaan negatif,’’ sahut Susilo tangkas.
‘’Pernahkah anda berpikir bahwa setiap orang harus merencanakan perubahan? Perubahan memang sebuah tantangan yang membawa kita keluar dari wilayah aman. Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk selalu berubah, tetapi kebanyakan dari kita merasa tidak mampu melakukannya. Keluar dari wilayah aman, memasuki dunia baru, menghadapi tantangan baru, hidup kemudian mengalami perubahan. Takut kehilangan berbagai fasilitas yang telah mengenakkan.’’ Susilo makin mantap membombardir dengan khotbahnya.
Yono yang selama ini banyak berbeda pendapat dengan Susilo, kali ini tampak sepakat dengan temannya itu. ‘’Susilo betul. Toh tidak ada yang tetap dalam dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.’’
Mereka seperti sepakat dengan pakar pemasaran Rheinald Kasali yang menulis buku Change! Jika ingin memperbaiki kondisi harus berani berubah.
Yudho yang mahasiswa fakultas teknik tapi suka membaca buku sosial ikut angkat bicara. Dalam kerumunan, katanya, orang cenderung hilang identitasnya. Mereka bisa berlindung di balik kerumunan. Dalam kerumunan, orang juga akan cenderung ‘’lebih berani’’ karena merasa bertindak secara bersama. Risiko ditanggung bersama.
‘’Begitu pula mungkin pikiran para alumni yang ikut arus itu. Mereka bergaul sesama politisi yang tidak memiliki fatsoen politik yang jelas. Termasuk moral politik. Sewaktu menjadi aktivis ormas masih kontrak rumah, tapi begitu menjadi anggota dewan lima tahun saja, rumah tak sekedar mewah, tapi juga dihiasi deretan mobil dengan harga wah. Gak peduli, dari mana uang dijarah.’’
Tak jauh bedanya dengan para suporter bola. Jika sudah bergerombol dengan sesama, mereka sering bertindak brutal tanpa ada ketakutan sedikit pun juga. ‘’Lihat saja bagaimana para suporter bola yang daerahnya bertarung di delapan besar Liga Indonesia. Tak peduli bagaimana mutu permainan kesebelasannya, yang penting bergerombol bahkan kalau perlu memalak warga,’’ tambah Yudho sembari menunjukkan berita di koran.
Sebelum pembicaraan ngalor-ngidul sebagaimana yang biasa terjadi jika empat sekawan ini berkumpul, Bambang yang pertama melontarkan wacana pun mencegat pembicaraan. ‘’Kalau begitu, mestinya reuni menjadi ajang evaluasi juga ya. Setidaknya untuk peningkatan kualitas almamater dan alumninya.’’
Susilo ingat dengan tulisan di kaos yang sering dipakai Gepeng, temannya. ‘’Ya mestinya, reuni jangan sekedar menjadi United of Nothing!’’
‘’Apalagi United of Talking Person Only atau United of Conthongan Doang...ha...ha...ha....,’’ plesetan Yudho membuat empat sekawan Susilo, Bambang, Yudho dan Yono itu terbahak-bahak.***
*Dimuat di Radar Yogya, 18 September 2005, menyambut Reuni Fisipol UGM.