Friday, December 22, 2006
Monday, December 18, 2006
JANJI ALUMNI
Lha INI SURAT ''RAHASIA'' LAINNYA
Thursday, December 14, 2006
ARSIP ''SURAT MASA LALU'' SEWAKTU KKN
''SURAT'' AMIEN RAIS untuk WINANTO
Monday, December 11, 2006
ANNA DI RUMAH WILIS DI HOLLAND
Monday, December 4, 2006
NANANG BERCENGKARAMA DG ANAK2NYA
Friday, December 1, 2006
Thursday, November 30, 2006
Si CANTIK Anak WILIS
Wednesday, November 29, 2006
PUISI IKRANEGARA
When I said
What a beauty!
I was talking about your brain, my love
You and me
had the knowledge of biology of what
made us making love last night
producing our feeling of floating faster
and faster riding a spaceship in the sky
as the result of the busy wiring of our brain cells
You knew it
I knew too
When you said
you loved me
on the top of your breath while reaching the moon
the voice came from the deep inside your brain
What a beauty! I said
in our bed
the sheet was wet
with the gift
the light
from our moon
Twinbrook, 2006
Monday, November 27, 2006
KELUARGA BAHAGIA DI BALI
Saturday, November 25, 2006
Thursday, November 23, 2006
DARI DULU KOK NGGAK BERUBAH....
YUDI DI SISI KIRI
Wednesday, November 22, 2006
ANNA'S FAMILY
Tuesday, November 21, 2006
KENANGAN DI PANTAI BARON
Monday, November 20, 2006
BERSAMA PAK AMAL

Siapa yang kuliah di HI tak diajar Pak Amal? Tentu tidak ada. Oleh karena itu, ketika sekian tahun meninggalkan kampus, lalu menjadi orang --masak mau jadi hantu ya-- dan kembali ke kampus bertemu Pak Amal, rasanya seperti menemukan kembali sang bapak. Sayang, tidak ada yang membawa kenang-kenangan buat beliau ya. Cukuplah, minta foto bersama sekalian dengan ibu. Jepret-jepret, eh... adik kelas ada yang ikut. Tak apalah!
REUNI bukan UNITED OF NOTHING

Reuni bukan United of Nothing
Oleh: Erwan Widyarto
Bambang lantas mereply email pribadi itu. Dia menilai seniornya itu terlalu merendah. Padahal, mestinya dia pantas hadir dan berbicara di forum yang akan digelar di kampusnya. Dia bisa bercerita kisah hidupnya di depan alumni yang lain yang datang berombongan dari ibu kota, baik mereka yang naik kereta api maupun yang menggunakan pesawat.
Si senior itu pun membalas email Bambang. Di dalam email balasan itu dia malah menulis bagaimana malunya ia melihat para alumni dari almamaternya terlibat berbagai kasus korupsi. Bahkan, kalau dibuat ranking, barangkali almamaternya akan menempati urutan tertinggi. Atau setidaknya masuk tiga besar.
‘’Kita tahu, banyak pejabat di elite pemerintahan sekarang ini adalah lulusan fakultas kita dan fakultas tetangga kita. Begitu pula para kepala daerah dan anggota dewan di sejumlah kota di Indonesia. Hitung saja, berapa di antara mereka yang kini menjadi tersangka atau menyusul menjadi tersangka penyelewengan uang negara. Atau mungkin selamat karena kepandaiannya bersilat lidah atau pintar memelintir fakta dan memainkan rupiah dalam angka. Adakah yang pantas kita banggakan?’’
Pertanyaan retorik yang juga sindiran menghunjam. Adakah yang mesti dilakukan bagi para alumni ketika berkumpul dalam reuni. Termasuk reuni emas, 50 tahun usia fakultas.
‘’Mungkinkah, ada kesepakatan untuk membuat malu para alumni agar tidak melakukan tindakan yang memang memalukan itu? Mencabut gelar kesarjanaan, misalnya, meskipun itu bukan gelar palsu dari Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI). Atau apapun bentuknya. Mungkin ratusan kepala yang berkumpul dalam reuni bisa memunculkan ide yang lebih brilian,’’ lanjut senior itu.
Bambang terbayang-bayang dengan sosok kakak kelas yang ternyata tidak berubah setelah menjadi orang di Jakarta sana. Orangnya kalem, tenang. Gambaran kematangan bersikap dan berpikir. Tidak banyak orang yang seperti dia. Teguh memegang prinsip meski dengan risiko kehidupannya tetap tidak berubah.
Yang banyak adalah para lulusan yang sewaktu mahasiswa menjadi aktivis kritis tapi begitu menjadi birokrat atau politisi hilang kekritisannya, bahkan rame-rame ikut arus, korupsi. Atau setidaknya menjadi ‘’calo’’ yang kemudian ikut kebagian korupsi.
Saat email ini diceritakan kepada sahabatnya Susilo, Yudho, dan Yono tanggapan beragam pun muncul. Susilo yang sering sok filosofis mengatakan bahwa reuni memang harus mampu membuat transformasi dalam hidup. Harus ada evaluasi. Mengajak untuk melakukan perubahan-perubahan kecil atau besar yang mengubah kualitas hidup menjadi lebih baik.
‘’Apa yang akan diubah?’’ pancing Yudho.
‘’Pola pikir, emosi, dan kebiasaan negatif,’’ sahut Susilo tangkas.
‘’Pernahkah anda berpikir bahwa setiap orang harus merencanakan perubahan? Perubahan memang sebuah tantangan yang membawa kita keluar dari wilayah aman. Setiap orang pasti memiliki keinginan untuk selalu berubah, tetapi kebanyakan dari kita merasa tidak mampu melakukannya. Keluar dari wilayah aman, memasuki dunia baru, menghadapi tantangan baru, hidup kemudian mengalami perubahan. Takut kehilangan berbagai fasilitas yang telah mengenakkan.’’ Susilo makin mantap membombardir dengan khotbahnya.
Yono yang selama ini banyak berbeda pendapat dengan Susilo, kali ini tampak sepakat dengan temannya itu. ‘’Susilo betul. Toh tidak ada yang tetap dalam dunia ini kecuali perubahan itu sendiri.’’
Mereka seperti sepakat dengan pakar pemasaran Rheinald Kasali yang menulis buku Change! Jika ingin memperbaiki kondisi harus berani berubah.
Yudho yang mahasiswa fakultas teknik tapi suka membaca buku sosial ikut angkat bicara. Dalam kerumunan, katanya, orang cenderung hilang identitasnya. Mereka bisa berlindung di balik kerumunan. Dalam kerumunan, orang juga akan cenderung ‘’lebih berani’’ karena merasa bertindak secara bersama. Risiko ditanggung bersama.
‘’Begitu pula mungkin pikiran para alumni yang ikut arus itu. Mereka bergaul sesama politisi yang tidak memiliki fatsoen politik yang jelas. Termasuk moral politik. Sewaktu menjadi aktivis ormas masih kontrak rumah, tapi begitu menjadi anggota dewan lima tahun saja, rumah tak sekedar mewah, tapi juga dihiasi deretan mobil dengan harga wah. Gak peduli, dari mana uang dijarah.’’
Tak jauh bedanya dengan para suporter bola. Jika sudah bergerombol dengan sesama, mereka sering bertindak brutal tanpa ada ketakutan sedikit pun juga. ‘’Lihat saja bagaimana para suporter bola yang daerahnya bertarung di delapan besar Liga Indonesia. Tak peduli bagaimana mutu permainan kesebelasannya, yang penting bergerombol bahkan kalau perlu memalak warga,’’ tambah Yudho sembari menunjukkan berita di koran.
Sebelum pembicaraan ngalor-ngidul sebagaimana yang biasa terjadi jika empat sekawan ini berkumpul, Bambang yang pertama melontarkan wacana pun mencegat pembicaraan. ‘’Kalau begitu, mestinya reuni menjadi ajang evaluasi juga ya. Setidaknya untuk peningkatan kualitas almamater dan alumninya.’’
Susilo ingat dengan tulisan di kaos yang sering dipakai Gepeng, temannya. ‘’Ya mestinya, reuni jangan sekedar menjadi United of Nothing!’’
‘’Apalagi United of Talking Person Only atau United of Conthongan Doang...ha...ha...ha....,’’ plesetan Yudho membuat empat sekawan Susilo, Bambang, Yudho dan Yono itu terbahak-bahak.***
*Dimuat di Radar Yogya, 18 September 2005, menyambut Reuni Fisipol UGM.
LESEHAN IKAN BAKAR

Kumpul, makan, ngobrol ngalor-ngidul.
Mirip kerja para diplomat kan?
Tuh, berarti tak jauh-jauh dari cita-cita awal kuliah di hubungan internasional kan.... Hiks!!
Begitu pula saat pertemuan pemanasan kita di Jogja September 2005. Makan ikan bakar di sebelah barat Stasiun Tugu Jogja. Tuan rumah begitu enak, karena ''tamu-tamu'' dari Jakarta saling berebut membayar makanannya... he...he...
BOYONGAN DI BOYONG

Kalau ini nih, foto-foto kita sehabis makan di Boyong Kalegan, Pakem, Jogja usai ngobrol bareng-bareng. Kita bisa kumpul ini karena ada barengan acara REUNI (DIES) FISIPOL UGM 17 September 2005. Kita manfaatkan waktu senggang di Hari Minggu 18 September untuk ngobrol dan makan-makan.
Lumayan heroik karena waktu itu harus jemput Lucinda di rumahnya. Lucinda yang baru punya baby harus nunggu babysitter dulu agar bisa ikut rombongan kita.
Tak jauh beda ya wajah-wajahnya sewaktu saat kuliah dulu....